SEA Games 2025: Indonesia U-22 Tersingkir, Sorotan ke Pembinaan

AnakBola.org – Status juara bertahan ternyata tak cukup untuk membuat Timnas Indonesia U-22 melaju jauh di SEA Games 2025. Tersingkir di fase grup, hasil ini memantik diskusi lama: mengapa Thailand dan Vietnam terasa makin “matang” saat Indonesia kerap tersendat?
Juara Bertahan Gugur Cepat, Realita yang Menampar
Timnas Indonesia U-22 datang ke SEA Games 2025 di Thailand dengan ekspektasi tinggi. Skuad dipimpin Indra Sjafri, disebut berbekal pengalaman dan komposisi pemain yang dianggap mumpuni, namun perjalanan mereka berakhir lebih cepat dari target.
Hasil di fase grup membuat Garuda Muda harus angkat kaki, meski sempat meraih satu kemenangan. Indonesia tersingkir karena kalah selisih gol dari Malaysia.
- Hasil penting fase grup: kalah 0-1 dari Filipina
- Laga berikutnya kembali gagal menang telak saat menghadapi Myanmar
- Menang 3-1 (sempat tertinggal 0-1), tetapi tetap tidak cukup untuk lolos
Start Tersendat, Menang Terlambat, Tiket Semifinal Melayang
Kekalahan dari Filipina menjadi pembuka yang memberatkan langkah Indonesia. Setelah itu, Indonesia kembali tidak mendapatkan hasil yang dibutuhkan saat berjumpa Myanmar, sehingga peluang lolos semakin menipis.
Pada laga lain, Indonesia sempat tertinggal terlebih dahulu sebelum akhirnya membalikkan keadaan dan menang 3-1. Namun, kemenangan tersebut datang ketika hitung-hitungan klasemen sudah ketat. Akhirnya, Indonesia tersingkir karena kalah selisih gol dari Malaysia, sebuah detail yang membuat kegagalan terasa makin menyakitkan.
Hasil ini juga menyeret Indra Sjafri ke pusat sorotan, karena publik sebelumnya berharap ia bisa mengulang sukses seperti SEA Games 2023 di Kamboja saat Indonesia menjuarai turnamen dan meraih emas.
Ketika Buntu, Indonesia Dituding Kembali ke Pola Lama
Pengamat sepak bola nasional Erwin Fitriansyah menilai Indonesia punya kebiasaan yang kembali muncul ketika permainan tak berjalan mulus. Ia menyebut ciri yang kerap terlihat adalah mengandalkan umpan panjang saat serangan macet, sebuah pola yang kemudian jadi bahan sindiran di ruang publik.
Dalam pandangannya, Thailand dan Vietnam justru tampil dengan identitas permainan yang lebih jelas di level regional. Perbedaan “ciri khas” inilah yang membuat Indonesia sering terlihat kesulitan, terutama ketika pertandingan menuntut solusi taktis yang rapi dan konsisten.
Vietnam dan Thailand Dinilai Unggul karena Fondasi yang Serius
Erwin juga membagikan pengalamannya saat meliput Piala AFF 2014 di Vietnam. Ia mengaku terkesan dengan fasilitas yang dimiliki Timnas Vietnam, termasuk area pemusatan latihan yang lengkap: banyak lapangan, dukungan kebugaran, hingga sarana penunjang seperti kolam renang dan ruang kebugaran.
Menurutnya, fasilitas bukan sekadar “hiasan”, melainkan bagian dari cara Vietnam mengelola tim nasional dan membangun daya saing jangka panjang. Dari titik itu, ia menyimpulkan mengapa Vietnam bisa menjadi kekuatan yang konsisten di Asia Tenggara, bahkan mampu menantang Thailand yang kerap disebut sebagai raja kawasan.
Ia menegaskan, kesulitan yang Indonesia rasakan terhadap Vietnam dan Thailand selama ini dinilai berakar dari keseriusan pembinaan sepak bola, bukan hanya soal satu turnamen atau satu generasi pemain.
Identitas Permainan yang Sempat Ada, Lalu Menghilang Lagi
Untuk Indonesia, Erwin menilai beberapa era kepelatihan sempat meninggalkan jejak gaya bermain. Ia menyebut periode tertentu terlihat lebih “berpola”, termasuk ketika Indonesia dikenal dengan permainan kombinasi pendek yang rapat pada era sebelumnya.
Namun, ia menilai fase tersebut tidak bertahan lama. Dalam konteks Indra Sjafri, ia menyebut mungkin “masanya sudah lewat”, sehingga identitas permainan Indonesia kembali terasa kabur. Dari sinilah muncul pekerjaan rumah besar: membangun fondasi yang membuat gaya main bertahan lintas generasi, bukan sekadar muncul sesaat.
